Artikel

Cerpen Cinta Tanah Airku

May 11, 2013
Cerpen Cinta Tanah Airku

“Pemenang Lomba Kebersihan, Kerapihan dan Kehiajauan Desa pada tahun ini kembali diraih oleh desa “IMPIAN” ungkap seorang lelaki setengah baya di atas podium. Serentak gemuruh tepukan tangan membahana di lapangan tempat acara penutupan Lomba Kebersihan, Kerapihan dan Kehijauan Desa itu dilaksanakan.

Memang tak ada satu orang pun yang memungkiri kalau desa itu akan kembali memenangkan lomba tersebut untuk kesekian kalinya, apalagi kalau melihat kondisi yang nyata di desa itu. Pesawahan yang luas nan hijau, perairan yang terus mengalir deras, tata kota yang menawan dan ratusan alasan lainnya, termasuk kesejahteraan penduduknya yang hampir merata.

Kepala desa tempat itu bernama pak Raja Adil. Semenjak ia terpilih jadi kades, sejak itu pula desa tersebut selalu jadi juara setiap lomba kebersihan dan kerapihan desa, baik yang diadakan oleh kabupaten Kemakmuran atau Propinsi Kesejahteraan. Malah sampai lomba yang diadakan langsung oleh pemerintah Republik Cita-Cita pun pada tahun 2008 desa itu tetap jadi juara.

Kemenangan yang berulang kali itu secara tidak langsung membuat sebahagian orang penasaran. Saking penasarannya beberapa orang membentuk sebuah panitia untuk mengadakan jumpa pers dengan sang kepala desa.

“Apa kiat dan trik-trik yang bapak lakukan dalam hal ini ?” tanya salah seorang wartawan media massa.

“Sebenarnya tak ada hal yang aneh yang kami lakukan dalam hal ini, selama ini kami hanya dan selalu mengingatkan para warga untuk selalu sadar.” Jawab Raja Adil

”Maksudnya apa pak ?” tanya salah satu dari mereka

”Maksudnya semua warga dalam tindak-tanduknya harus dalam keadaan sadar tanpa dikendalikan oleh bujukan atau rayuan siapapun” lanjut pak kades menjelaskan.

“Maksud bapak Setan?” tanya salah seorang wartawan diiringi gelak tawa wartawan dan penonton lainnya.

”Bisa jadi, atau mungkin barang kali bujukan kawan-kawan yang mengajaknya untuk terjun ke dunia tikus.”

” Tapi pak bukannya hal itu membutuhkan hal yang lama?” “Ya, iyalah! namanya juga proses, dimana-mana pasti butuh waktu. Cuman bukan berarti kita harus menyerah kan?” tanyanya balik.

“Terus apakah bapak membentuk tim pengawas?”

“Jadi gini sebelum semuanya di mulai kita memberikan pengarahan tentang materi KESADARAN. Sadar dalam segala hal terutama sadar akan keberadaan sang pencipta dan sadar akan keberadaannya sebagai seorang manusia.”

“Dalam kata lain berarti bapak lebih mementingkan sisi religiusnya di bandingkan kredibilitasnya?”

“Tapi nggak salah khan ? buktinya sampai saat ini tikus-tikus putih di daerah kami bisa teratasi.”

“Apa awal yang mengilhami bapak untuk menggunakan metode ini dalam kepemimpinan bapak?” tanya wartawan lain

“Secara sederhana seperti ini. Ibarat seorang majikan ketika budaknya sadar akan keberadaannya sebagai budak, kemudian ia berlaku sebagimana layaknya seorang budak maka secara tidak langsung sang majikan pun akan sadar akan keberadaannya sebagai majikan. Bukti majikan sadar paling tidak ia akan memberikan gaji pegawainya tepat waktu, atau lebih besarnya lagi sang majikan akan memberikan bonus atas kerjanya yang Ok.”

“Hubunganya dengan keberhasilan bapak dalam kepemimpinan?”

“Kami meyakini dan meyakinkan kepada semuanya kalau bumi ini ada pemiliknya, ada pengurusnya dan ada pemeliharannya dan kami mengibaratkan pemilik itu sebagi majikan, dan kami sebagi budakNya.”  Desa itu memang indah, berada jauh dari keramaian kota. Sebuah tempat di mana gunung-gunung tinggi jadi bentengnya, di mana pohon-pohon besar jadi pagarnya, sawah-sawah jadi halamnya, sungai dan danau jadi kolamnya.

Penduduknya hidup berdampingan tanpa beban. Tanpa rasa takut akan ancaman ataupun serangan. Keberhasilan desa tersebut yang kesekian kalinya dalam perlombaan tersebut, betul betul disambut hangat oleh seluruh penduduknya. Sampai seorang pemuda saking gembiranya, dengan semangat tinggi sambil berlari mencoba naik ke atas puncak bukit, Rona bahagia di mukanya begitu terlihat.

Selang beberapa saat sang pemuda pun sudah sampai di atas bukit. Sambil menghadap ke arah sang surya pagi yang berada di atas kepala desanya. Ia berteriak:
Aku bangga menjadi anak Kemakmuran, Aku bangga bertanah air Kesejahteraan, Aku bangga budayaku Cita-Cita, Aku bangga bahasaku Cita-cita. Anak-anak bermain seru, Para gadis berjilbab malu, Para ibu berdandan ayu, Para bapak optimis karena mau  yang ia tahu walaupun hanya dengan sebuah cahaya lampu, pengajian tetap berjalan, Walaupun tanpa segelas susu, air danaupun mengenyangkan, Sawah sawah nan hijau membentang, pohon pohon besar nan rindang berderet panjang. Aliran-aliran sungai mengalir tenang, hewan-hewan bernyanyi riang, Begitu indah …… Begitu damai…… Begitu tentram … Suasana yang tercipta. Apalagi di pagi hari ketika alunan gemercik air dan lantunan desahan angin membentuk irama harmonika memecah sunyi, bangsaku, budayaku, tanah airku, Cita-Citaku.

Sejenak Pemuda itu diam seribu bahasa, mencari kata lain yang tepat untuk membanggakan tanah airnya, untuk memuji bangsanya. terlihat sorot mata yang penuh asa dan senyum simpul menghiasi wajahnya yang tak setampan arjuna. Pakaian kebesaran orang-orang miskin yang dipakainya tak membuat ia malu untuk berbangga. Bolongan-bolongan di bajunya ia anggap bak bunga-bunga yang terlukis dibajunya.

”Ha ..ha … ha ..” sebuah suara keras bernada merendahkan memecah keheningan yang tercipta. ”

“Wey….. siapa kamu?” tanya sang pemuda sembari menyembunyikan rasa takut yang menghinggapinya.

”Tak usah kau tahu siapa aku…. tak usah kau tanya siapa namaku …. ” jawab sang sumber suara. Aku cuman mau bilang : Tak usah kau banggakan bangsamu, tak ada guna kau puji Indonesiamu, sekarang semuanya sudah berlalu, buka jendela rumahmu dan lihatlah sekelilingmu.
Lihat ….. anak anak sudah mulai bermain dadu, para pemuda mulai buka tutup kartu, para gadis tak lagi berjilbab malu. Mereka
mulai berjalan ponggah sambil berkata ini dadaku.
Lihat … para ibu tak lagi berdandan ayu melainkan penuh dengan polesan abu. Seorang ayah tak lagi mau yang ia tahu melainkan tahu yang ia mau. Tidak kah kau lihat rok mini-rok mini itu? tidak kah kau lihat lipstick-lipstik tebal itu? Tidak kah kau tengok botol dan kertas itu? Tidakkah kau perhatikan orang-orang gila itu? Anak anakmu tak lagi punya masa depan Pemuda bangsamu tak lagi punya harapan, para gadismu tak lagi punya impian, Semuanya telah kalah oleh jaman.
”Tapi… ” ungkap si pemuda memotong, itu bukan bangsaku, itu bukan budayaku,” wahai pemuda
“Lugu …!” panggil sang suara. Bukankah yang di ibukota itu bibimu?
Bukankah yang berdasi itu pamanmu?
Bukankah yang berpesta itu sepupumu?
Bukankah yang beralmamater itu kerabatmu? Tak usah kau malu untuk berkata iya. Tak usah kau berdusta dengan berkata tidak akui lah semuanya
karena aku tidak buta.
“Sobat …. aku tak mau lama-lama denganmu. Aku jenuh … cape … bosan… ” ungkap sang suara.
” Cuma ingatlah satu hal!” lanjutnya, Rumahmu memang bangsamu tapi bangsamu bukan rumahmu.
” Wey tunggu …. tunggu ..kita belum selesai ” teriak sang pemuda namun sayang sang suara tak lagi meyahut. Ia pergi meninggalkan sang pemuda sendirian dalam kebingungan.

Rona ceria berubah duka, ada lara yang tercipta di diri sang pemuda. Tubuhnya mulai melemas, omongan omongan pedas sang suara seolah telah memakan seluruh energinya. Dengan sengaja ia jatuhkan tubuhnya ke atas rumput yang diinjaknya. Langit biru yang tak berhiaskan awan ia jadikan mainan tatapan kosongnya Setelah sekian lama termenung, ada sebuah cahaya harapan yang muncul dari mukanya, sekilas terlihat ada perang batin yang hebat mulai terjadi dalam jiwa sang pemuda. Dengan susah payah ia mencoba untuk bangkit, sambil menarik napas ia mencoba mengumpulkan serpihan-serpihan energinya.

Duka diraut mukanya ia coba ubah dengan asa. Lara di hatinya ia coba ganti dengan cita. Sejenak ia berpikir, kemudian mengangkat kakinya untuk melangkah menuruni bukit ” tugasku masih banyak …. ya Robb bantu hambaMu !” do’anya dalam hati. Sambil memandang ke atap bumi.

_PRINT