Awalnya, ujian Matematika tersebut berlangsung dengan nyaman bagi Raihan. Bocah jenius itu memang slalu menjadi bintang di sekolah, tak pernah absen sekalipun. Tak salah jika penampilan Raihan selalu dianggap aneh oleh anak anak di sekolah, dengan kacamata tebalnya, dan rambut bak anak culun dengan berponi yang dibelah tengah selalu menjadi ciri khasnya.
Secarik kertas mengenai punggungnya dengan innocentnya, tak tau bahwa dia sedang berpikir dan hampir selesai. Tiba-tiba pikirannya lenyap seketika dan dengan perlahan dia mengambil kertas didekat kakinya tersebut dengan hati-hati agar tidak membuat para pengawas curiga. Perlahan-lahan tapi pasti ia berhasil mengambil kertas tersebut. Dan ia membacanya.
“Raihan, apa isi nomer 11-17?” Tanya Rizal Setelah membaca surat tersebut. Raihan langsung membalas di kertas tersebut sama dengan jawabannya dan kembali melemparkannya ke Rizal. Rizal sangat kegirangan dan langsung memindahkan jawabannya Raihan ke LJK nya.
Rizal memang terkenal berandalannya. Menurutnya penampilanlah yang utama daripada pendidikan. Tak salah jika perawakannya yang tinggi menjulang dan wajah tampannya tanpa berjerawat selalu menjadi idaman para cewek di sekolahnya.
Begitupula aku, aku memang menyukai Rizal sejak kelas 7. Tapi menurutku dia tidak mengenal aku. Jadi aku hanya menyimpannya dalam dalam dan berusaha rasa suka tersebut tidak mengganggu pelajaranku di sekolah.
“Hei, terimakasih ya Rai,” Rizal mendatangi meja Raihan yang tengah asik dengan bukunya ketika ujian telah selesai. Raihan yang merasa terganggu tidak menjawabnya dan tetap asik membaca buku tersebut.
Rizal meninggalkan kelas ujian dengan mendengus kesal. Ia langsung bergabung bersama gengnya di kantin. Kebetulan aku juga sedang berada di kantin.
“Halo Aida,” sapanya canggung. Aku tidak percaya dia menyapaku.
“Hai Rizal. Aku Permisi dulu ya,” Jawabku canggung,malu, senang, semua bercampur jadi satu dalam hati.
Aku pun pulang dalam rasa bahagia. Untung ujian Matematika ini adalah ujian terakhir, jadi aku bisa cerita semuanya ke Mbak Salsa. Di tengah pembicaraan itu, tiba-tiba HP ada sms dari nomor yang tak dikenal.
“Hai”, Begitulah bunyinya.
Aku segeramembalasnya, “Hai juga. Maaf, ini siapa ya?”
2 menit berlalu belum ada tanda-tanda akan bergetarnya HP ku. Tiba-tiba,
“Aku Rizal, Aida.” “Masa kamu gak kenal?” bunyi pesan di Hpku.
Hah? Rizal? Ini mimpi? Tau darimana dia nomorku? Beribu pertanyaan mengisi otak ku. Segera aku membalasnya, “Oh Rizal. Ada apa Zal?”
Penasaran aku menunggu balasannya, semenit berlalu, dua menit, 10 menit hingga setengah jam tak juga ada jawaban darinya. Aku masih menunggu balasan darinya hingga akhirnya aku putuskan untuk tidur karena hari sudah malam.
Seminggu kemudian, semua nilai keluar. Si Bocah jenius itu berteriak kegirangan setelah melihat semua nilainya yang rataratanya 95 sementara Rizal memiliki rata-rata 85. Aku turut senang bukan main setelah melihat semua nilai yang keluar rata-rata 90.
“Rizal kini berubah menjadi pintar” Gumanku dalam hati. Menurut saya apa yang diraih Rizal lan dari apa yang dia raih selama ini karena biasanya anak itu hanya mendapat rata-rata 75. “Ada apa dengan Rizal?” Kataku semakin penasaran.
“Hei Zal, selamat yaa. Nilaimu bagus-bagus,” Kataku memberinya selamat dengan tulus.
Rizal tersentak, “Eh Aida. Iya, Makasih yaa... Nilaimu juga bagus-bagus yaa,” Tambah Rizal.
“Ahahahaa, makasih kembali Rizal,” Jawabku malu. Suasana kemudian terasa sunyi dan hening, namun tiba-tiba Rizal berkata, “Aida, aku boleh ngomong sesuatu?”
DEG! bunyi apa itu? Oh tidak itu bunyi detak jantungku. Aku gugup sekali.
“Boleh Zal, ngomong saja” Jawabku
“Aida, aku suka sama kamu,” Katanya pelan.
“Apa aku ga salah dengar?” Kataku penasaran. Dia ternyata juga suka padaku. Rasanya ada hujan Emas di kantin. Senaaaaang sekali.
“Oh, iya makasih. Sepertinya aku harus segera pergi,” jawabku enteng. Well, sedikit berbohong gak papa kan?
“Aida, TUNGGU!” Kata Rizal sambil menggenggam tanganku.
“Apa lagi Rizal?” Tanyaku pura-pura kesal.
“Kamu belum jawab pertanyaanku,” Pinta Rizal.
“Pertanyaan? Kamu itu ngasih pernyataan , bukan pertanyaan,” Aku menjebaknya.
“Hahaha, kamu polos sekali Aida. Maksudku, kamu mau nggak jadi pacarku?” Ucap Rizal balas pertanyaanku.
Rizal tertawa? didepanku? Tampan sekali. Aku terperangah dia mengatakan seperti itu.
“Aku ga bisa Rizal. Pelajaran adalah pacar utamaku. Bukan kamu,” Kataku coba yakinkan Rizal.
Luka. Iya, luka yang aku rasakan setelah aku mengucapkannya. Jujur saja, aku ingin sekali menerimanya.
“Aida, aku ingin jujur satu hal sama kamu. Semua ujianku itu nyontek ke Bocah jenius itu. Aku ingin mengerjakannya sendiri, tapi aku merasa gak mampu,” Kata Rizal penuh nada penyesalan.
Aku terperangah untuk yang kedua kalinya mendengar pengakuan Rizal. Dia yang selama ini saya anggap telah berubah, ternyata memperoleh hasil bukan karena kerjanya sendiri. Dia mencontek? makanya nilainya bagus? “Ya Allah Rizal.” Jawabku kaget.
“Rizal, kita masih bisa bersahabat, Kita masih bisa memperbaiki nilai-nilai kamu,” Kataku belagak menasehinya kayak orang tua.
“Kita? kita Aida?” Tanya Rizal.
“Iya kita. Gini aja, gimana kalo mulai sekarang kita belajar bersama. Kamu jadi muridnya, aku gurunya” Kataku yakinkan Rizal sambil bergurau.
Rizal kaget mendengarnya. “Benarkah itu Aida? kamu mau ngajar aku?”
“Iya Rizal. masih ada waktu 3 bulan menjelang UAS. Aku tunggu kamu di perpus saat istirahat, oke?” Kataku yakinkan Rizal sekali lagi
“Terima kasih banyak Aida” Kata Rizal.
“Well, aku harus pergi, sampai jumpa Rizal,” Kataku sambil melambai pada Rizal.
Begitulah keseharian saya dengan Rizal dimana kami sering menghabiskan waktu bersama. Tanpa terasa 3 Bulan sudah berlalu dan UNAS sudah didepan mata. Satu minggu menjelang UAS, intensitas pembelajaran saya dan Rizal semakin sering. Pembelajaran itu terus kami lakukan hingga
Unas selesai dan tibalah saat yang mendebarkan dimana nilai-nilai UAS dibagikan. Kami semua berdebar-debar tak sabar menunggu hasilnya tapi juga cemas khawatir nilai yang kami peroleh tidak sesuai harapan alias jelek. Ketika nilai diumumkan, Si bocah jenius memiliki rata-rata
100 dengan sempurna. rata-rataku bertambah menjadi 95 dan yang lebih fantastis, Rizal mendapat rata-rata 90. Rizal sebenarnya adalah anak
yang pintar. Satu minggu kemudian ketika raport dibagikan.
“Aida!” Sapa Rizal.
“Hei Zal, Kamu rangking berapa?” Tanyaku basa basi
“Atas bantuanmu, aku mendapat rangking 2. Kalau kamu?” Tanya Rizal.
“Well, aku rangking 1. Hehehee,” Jawabku sombong dikit....Tiba-tiba Rizal merangkulku. Refleks aku melepaskannya dan berlari menjauhinya
“Aidaa!” Kata Rizal dari kejauhan.
“Kamu ga akan bisa nangkep aku, Rizal. hahahahaa,” Kataku sambil berlari meninggalkan Rizal.
“Awas kamu ya, Aidaa. hahahahaa,”Kejar Rizal. Happy Ending...
(*) Helmi Nur Eka Rahayu (Kelas 9E)